Saturday 11 January 2014

Sempurna



Cerita ini bermula saat musim mengizinkan bunga-bunga bermekaran. Kala kumbang meninggalkan jejak-jejak kerinduan pada tetes embun diantara dedaunan. Hari itu hari yang cerah. Matahari yang sedikit condong ke barat tak jemu tuk memandang elok paras pertiwi. Penghuni semesta seakan enggan tuk menyudahi nyanyiannya tuk mengisi waktu yang terus bergulir. 

Seorang pemuda duduk termenung menatap layar kaca ditangannya. Sesekali diliriknya jam tangan, sesekali dilihatnya relief agung yang terpampang diantara dupa yang menebar wewangian kesegala penjuru. Ya, hari itu dia berjanji dengan seseorang yang mungkin hanya ada di dalam mimpi. Seseorang yang memberi sejuta harapan. Gadis berparas elok yang kini menjadi tempat semua perhatiannya tercurah.


Ketukan pada semacam tempurung kelapa menyentaknya dari lamunan. Setiap mantra yang terlantun ia dengar dengan seksama. Berharap sang pujaan hati telah datang membawa angan dan harapan yang terpendam.


“Hai...” suara pelan nan merdu membuyarkan khayalannya.


“H..Hai..” sedikit gugup ia menjawab.


“Sudah lama?” tanya gadis itu dengan kuluman senyum di wajahnya.


“Baru saja.” Jawabnya dengan tak berkedip.


Hatinya bergetar tak menentu. Gadis itu memang sudah lama membangunkan rasa penasaranya. Walau hanya lewat suara, ia seakan tahu bahwa perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Sesuatu yang aneh, memang. Inikah cinta yang tanpa bertemu? Atau cinta yang mempertemukan keduanya?


“Maaf ya. Aku terlambat. Ada sesuatu yang mesti kuselesaikan hari ini.”


“Tak masalah. Sambil menunggumu, mungkin dewata sedang memamerkan kemegahan ‘rumahnya’ padaku,” jawabnya diiringi tawa keduanya.


“Kamu apa kabar? Sudah lama ya, kita tak berjumpa?” Gadis itu bertanya.


“Sejak pertemuan itu, entah mengapa aku merasa kita begitu dekat. Awal yang hanya saling menyapa, berlanjut sebagaimana adanya hari ini,” lanjutnya sambil sesekali menatap stupa di depannya.


“Aku baik. Tak ku sangka kita bisa membuat janji di sini,“ jawabnya dengan tatapan hangat kepada sosok di depannya.


Seolah lama terpisah di ejek waktu, keduanya terlibat perbincangan hangat diantara orang yang lalu lalang di tempat itu. Sebuah rumah Tuhan yang bisa dikunjungi siapa pun tanpa memandang ras, suku agama, maupun golongan.


“O, iya. Aku ada sesuatu buat kamu,” sambil tersenyum gadis itu menyodorkan sesuatu.

“Kamu senang baca kan?” tanyanya penuh antusias.


“Sepertinya iya. Terutama ku ingin membaca tiap denyut nadimu.”

Keduanya tertawa bersama-sama. Ada kehangatan diantara percakapan mereka. Keduanya saling menatap. Lama terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.



“Oohh.. apakah salah jika ku nyatakan rasa ini sekarang?”.

“ O ya, apa kamu tahu, mengapa aku ingin menemuimu di sini?” balasnya kemudian.


“Kenapa?”


Ditatapnya lagi bola mata gadis itu. Lalu, dengan sisa keberanian yang telah runtuh oleh perasaannya, ia berucap “ Karena di sini lah waktu mempertemukan kita untuk yang pertama kali.. Mengukir kenangan yang membawa kita kembali ke sini. Sejujurnya aku mencintaimu. Mungkin sedikit terdengar mengada-ada. Namun begitulah yang ku rasakan padamu saat ini. Apakah kamu menyimpan perasaan yang sama?”





Hening.





Angin sepoi begitu menyejukkan. Namun tidak berpengaruh besar pada hati keduanya. Entah mengapa debar-debar tak menentu acap kali menguasai pikiran.


“Sesungguhnya aku juga menyayangimu. Namun, maafkanlah aku. Aku tak pernah bisa melupakan bayang tentangmu. Hingga pertemuan kita yang terakhir, aku menunggu pernyataan ini terucap.” ujarnya lirih dengan rona merah di wajahnya.


“Itu artinya?”


“Ya, tepat seperti yang kamu pikirkan”


Hampir saja ia menghambur memeluk gadis pujaannya. Namun, nalurinya masih bisa terkendali tuk mengucap ,“Terima kasih Tuhan.”


“Mengapa kamu berterima kasih?”


“Itu karena doa yang ku lantunkan siang dan malam telah dikabulkanNya. Aku ingin menyatakan semua perasaan ini di ‘rumah Nya’, di sini. Sungguh sesuatu yang sempurna, bukan?” jawab pemuda itu sambil memegang erat tangan kekasihnya.


“Ya. Dan aku juga berterima kasih. Semua tanyaku terjawab sudah. Aku tak akan ragu lagi tuk menyebutmu milikku.”


Senja menerangi dunia yang temaram. Mengizinkan langit menyaksikan senyum dua anak manusia yang dilanda cinta.








Saat hati telah menyatu, semua serba sempurna, bukan? :)

No comments:

Post a Comment