Saturday, 18 January 2014

Rasa Ini




Rintik demi rintik hujan menemaniku sore ini. Diantara himpitan gedung tua di tengah kota yang begitu sibuk. Jari-jari ku tiada lelah mengetikkan huruf demi huruf merangkai sebuah cerita yang tak kunjung ku selesaikan. Ya, hari ini ku putuskan untuk ‘istirahat’ total dari semua rutinitasku. Keseharian yang kadang menjemukan, melelahkan dan memaksaku untuk selalu berdisiplin pada diri sendiri.

Ku mulai menuliskan kisahku menjadi sebuah cerita yang layak tuk dinikmati publik. Aku yang dulu minder, pemalu, dan jarang membuka komunikasi kepada orang lain. Hingga suatu ketika dia datang menorehkan warna baru dalam perjalanan ini.

Tak terasa hari sudah mau berganti. Telepon seluler yang sedari tadi tergeletak diam tiba-tiba bergetar pelan memecah konsentrasi. Satu kata terpampang di layarnya yang mungil. Dia.

Dia lah yang membawa segenap perubahan dalam hidupku. Dia juga yang mengajarkanku arti hidup dan semua tentang hal yang tak ku ketahui sebelumnya.

“Halo,” sapaku lirih.

“Belum tidur?” terdengar suara diseberang .

“Belum. Aku sedang menulis sebuah cerita.”

“Tentang apa?”

“Tentang kita.”

“Gombaaalll,” jawabnya seketika.

Serempak aku dan dia tertawa. Entah apa yang lucu. Atau segalanya berubah menjadi lucu saat di bicarakan olehnya ataupun olehku.

Panjang lebar alur pembicaraan yang tak menentu, hingga kata itu terucap.

“Besok aku harus pergi,”katanya tiba-tiba.

“Kemana?”

“Ke tempat dimana seharusnya aku berada. Mungkin kita tak akan bersua lagi untuk waktu yang lama.” Kalimat itu seakan petir di siang bolong.

“Tapi kenapa?” tanyaku setengah menyelidik.

“Aku ingin bertemu. Di tempat pertama kita berkenalan untuk terakhir kali. Dan akan ku ceritakan semuanya.”

Tut.. Tut.. Tut..

Sambungan terputus. Ku coba men-dialnya, namun sudah tidak aktif.

Jadilah aku gelisah tak menentu. Kantuk yang dari tadi menyerang sudah tak ku temukan lagi jejak-jejaknya. Aku sibuk bertanya-tanya pada diriku sendiri, ada apa gerangan?

Sudah tiga bulan berlalu sejak pertemuan itu. Waktu yang secara tak sengaja mengenalkanku padanya. Dunia maya yang kini tengah menjadi wabah di seantero negeri.

Tapi kini, dia akan pergi. Dunia terasa berhenti berputar. Langit dipenuhi awan hitam, hingga mentari kehilangan wibawanya sebagai lentera semesta. Detak jantungku berlarian, seolah mengejar sesuatu yang telah lama tertinggal. Pikiran ku dengan tega menghadirkan bayang wajahnya, menari-nari di pelupuk mata. Ahh... Aku galau...

Hari berganti. Akhirnya tiba juga saat-saat yang ku nanti. Hari ini aku dan dia bertemu. Membicarakan sesuatu yang selama ini mengganjal di hati dan pikiran. Ia datang sedikit terlambat. Mengenakan blues biru dengan atasan yang juga senada. Rambutnya dibiarakan tergerai menutupi sebagian pundaknya. Pundak yang selalu menjadi sandaranku kala lelah menyapa . Saat aku kehilangan arah dan tujuan hidup. Masihkah akan selalu begitu?

“Hai,” sapanya pelan.

“Hai,” balasku singkat.

Sejenak suasana hening. Seperti dua insan yang baru pertama bertemu. Canggung, tak tahu apa yang mesti dibicarakan. Semua ide membeku, pikiran terasa hampa. Lorong waktu dengan kejam menghentikan jalannya.

Aku diam.

Dia membisu.

“Sepertinya hanya diam yang diizinkan untuk bicara,” sedikit ku coba mencairkan kebekuan ini.

Tersenyum ia menjawab,”Oh.. maaf. Boleh kita bicara sambil duduk sebentar?”

Aku mengangguk pelan. Ku arahkan langkah kakinya ke satu bangku kosong di tengah taman ini. Suasana begitu mendukung. Seandainya tempat ini harus menjadi saksi untuk ku menyatakan cinta, tentulah sempurna.

“Sebelumnya aku ingin minta maaf. Aku terlalu takut tuk mengatakannya sejak dulu. Aku takut kita salah paham.”

“Maaf untuk apa?”

“Aku bingung dengan hubungan kita. Apa kau dan aku hanya sekedar teman?” Kata-kata itu meluncur deras dari bibir mungilnya.

Sudah ku duga, hanya saja aku tak sanggup tuk akui firasat ini.

“Entahlah, apa kau juga merasakan apa yang ku rasa? Apakah aku ada dalam hati dan pikiranmu?” aku memberondongnya dengan dua tanya sekaligus.

“Kalau iya?” jawabnya dengan raut muka serius.

“Tetapi akankah aku sanggup menjalaninya tanpa dirimu disisiku?” ku jawab pertanyaannya dengan tanya.

Angin berhembus pelan. Seolah mencoba tuk menjawab tiap tanya yang terlontar begitu saja. Aku dan dia mematung. Menerawang jauh ke angkasa raya. Satu hal yang kini ku sadari , urusan hati tak semudah mengurai cerita detektif yang sering ku baca hingga lupa waktu.

Aku dan dia menoleh bersamaan. Mata telah beradu pandang.

“Aku mencintaimu” serempak kata-kata itu meloloskan diri dari dua bibir sekaligus.

Senyum merekah.. mengembang perlahan disertai gelengan kepala tak percaya. Tetapi inilah kebenarannya.Mungkin inilah jalan takdir.

“Lalu, bukankah kau ingin pergi ke tempat dimana engkau seharusnya berada? Aku begitu ingin tahu tempat seperti apa itu,” Ku buyarkan adegan romantis itu sebelum berkembang ke arah yang lebih jauh.

Ditatapnya mataku sejenak, lalu berpaling kepada kerumunan awan putih di langit biru.

“Inilah tempat dimana seharusnya aku berada. Disisimu. Di hatimu yang paling dalam.”

Ternyata dia jago menggombal juga, pikirku.

“Sejujurnya aku lelah menunggumu,” lanjutnya. “Menunggumu tuk ungkapkan perasaanmu yang sesungguhnya padaku.”

Aku tersentak. Aku memang terlalu gengsi tuk nyatakan cinta. Aku malu pada diriku sendiri yang telah membuatnya merasa tergantung tanpa kepastian selama ini. Pelan ku genggam jemarinya.

“Maafkan aku,ya?”

“Tak usah minta maaf, semua sudah terlambat. Kita telah menyatakan cinta bersamaan.” Jawaban itu membuatku merasa menjadi makhluk paling beruntung sejagat raya.

Aahh... Indahnya dunia...

Saturday, 11 January 2014

Sempurna



Cerita ini bermula saat musim mengizinkan bunga-bunga bermekaran. Kala kumbang meninggalkan jejak-jejak kerinduan pada tetes embun diantara dedaunan. Hari itu hari yang cerah. Matahari yang sedikit condong ke barat tak jemu tuk memandang elok paras pertiwi. Penghuni semesta seakan enggan tuk menyudahi nyanyiannya tuk mengisi waktu yang terus bergulir. 

Seorang pemuda duduk termenung menatap layar kaca ditangannya. Sesekali diliriknya jam tangan, sesekali dilihatnya relief agung yang terpampang diantara dupa yang menebar wewangian kesegala penjuru. Ya, hari itu dia berjanji dengan seseorang yang mungkin hanya ada di dalam mimpi. Seseorang yang memberi sejuta harapan. Gadis berparas elok yang kini menjadi tempat semua perhatiannya tercurah.


Ketukan pada semacam tempurung kelapa menyentaknya dari lamunan. Setiap mantra yang terlantun ia dengar dengan seksama. Berharap sang pujaan hati telah datang membawa angan dan harapan yang terpendam.


“Hai...” suara pelan nan merdu membuyarkan khayalannya.


“H..Hai..” sedikit gugup ia menjawab.


“Sudah lama?” tanya gadis itu dengan kuluman senyum di wajahnya.


“Baru saja.” Jawabnya dengan tak berkedip.


Hatinya bergetar tak menentu. Gadis itu memang sudah lama membangunkan rasa penasaranya. Walau hanya lewat suara, ia seakan tahu bahwa perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Sesuatu yang aneh, memang. Inikah cinta yang tanpa bertemu? Atau cinta yang mempertemukan keduanya?


“Maaf ya. Aku terlambat. Ada sesuatu yang mesti kuselesaikan hari ini.”


“Tak masalah. Sambil menunggumu, mungkin dewata sedang memamerkan kemegahan ‘rumahnya’ padaku,” jawabnya diiringi tawa keduanya.


“Kamu apa kabar? Sudah lama ya, kita tak berjumpa?” Gadis itu bertanya.


“Sejak pertemuan itu, entah mengapa aku merasa kita begitu dekat. Awal yang hanya saling menyapa, berlanjut sebagaimana adanya hari ini,” lanjutnya sambil sesekali menatap stupa di depannya.


“Aku baik. Tak ku sangka kita bisa membuat janji di sini,“ jawabnya dengan tatapan hangat kepada sosok di depannya.


Seolah lama terpisah di ejek waktu, keduanya terlibat perbincangan hangat diantara orang yang lalu lalang di tempat itu. Sebuah rumah Tuhan yang bisa dikunjungi siapa pun tanpa memandang ras, suku agama, maupun golongan.


“O, iya. Aku ada sesuatu buat kamu,” sambil tersenyum gadis itu menyodorkan sesuatu.

“Kamu senang baca kan?” tanyanya penuh antusias.


“Sepertinya iya. Terutama ku ingin membaca tiap denyut nadimu.”

Keduanya tertawa bersama-sama. Ada kehangatan diantara percakapan mereka. Keduanya saling menatap. Lama terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.



“Oohh.. apakah salah jika ku nyatakan rasa ini sekarang?”.

“ O ya, apa kamu tahu, mengapa aku ingin menemuimu di sini?” balasnya kemudian.


“Kenapa?”


Ditatapnya lagi bola mata gadis itu. Lalu, dengan sisa keberanian yang telah runtuh oleh perasaannya, ia berucap “ Karena di sini lah waktu mempertemukan kita untuk yang pertama kali.. Mengukir kenangan yang membawa kita kembali ke sini. Sejujurnya aku mencintaimu. Mungkin sedikit terdengar mengada-ada. Namun begitulah yang ku rasakan padamu saat ini. Apakah kamu menyimpan perasaan yang sama?”





Hening.





Angin sepoi begitu menyejukkan. Namun tidak berpengaruh besar pada hati keduanya. Entah mengapa debar-debar tak menentu acap kali menguasai pikiran.


“Sesungguhnya aku juga menyayangimu. Namun, maafkanlah aku. Aku tak pernah bisa melupakan bayang tentangmu. Hingga pertemuan kita yang terakhir, aku menunggu pernyataan ini terucap.” ujarnya lirih dengan rona merah di wajahnya.


“Itu artinya?”


“Ya, tepat seperti yang kamu pikirkan”


Hampir saja ia menghambur memeluk gadis pujaannya. Namun, nalurinya masih bisa terkendali tuk mengucap ,“Terima kasih Tuhan.”


“Mengapa kamu berterima kasih?”


“Itu karena doa yang ku lantunkan siang dan malam telah dikabulkanNya. Aku ingin menyatakan semua perasaan ini di ‘rumah Nya’, di sini. Sungguh sesuatu yang sempurna, bukan?” jawab pemuda itu sambil memegang erat tangan kekasihnya.


“Ya. Dan aku juga berterima kasih. Semua tanyaku terjawab sudah. Aku tak akan ragu lagi tuk menyebutmu milikku.”


Senja menerangi dunia yang temaram. Mengizinkan langit menyaksikan senyum dua anak manusia yang dilanda cinta.








Saat hati telah menyatu, semua serba sempurna, bukan? :)

Saturday, 4 January 2014

Sebuah Cerita Diantara Kita


Inilah kisah kita..

Bermula saat musim mengizinkan bunga-bunga bermekaran..

Kala dengungan kumbang meninggalkan jejak kerinduan pada tiap kelopaknya..

Mentari yang selalu menebar senyum tanpa henti..

Membuat embun merasa malu hingga bersembunyi dalam pelukan pertiwi...



Ya, setelah musim yang selalu berganti..

Ku menunggu datangnya hari yang indah..

Dimana waktu tak pernah lagi ajukan tanya..

Yang jawabnya entah ada dimana...



Kau datang begitu saja..

Memasuki ruang hati ku yang gelap tanpa permisi..

Mencuri cintaku tanpa sempat ku bertanya..

Apakah rasa ini benar adanya?



Hati berdetak berirama..

Melukis tiap helai cerita antara kau dan aku..

Mengasingkan semua resah dan gelisah..

Hingga cahaya cinta leluasa memandikan jiwa ...